Jumat, 28 April 2017

Mengharmoniskan KeIslaman dan KeIndonesiaan

 
Belajar dari Kearifan Para Ulama Kita

Oleh: Rijal Mumazziq Z

“Kebanyakan kiai dulu tidak mengenal apa itu nasionalisme produk Barat. Kesadaran mereka dari awal: Indonesia ini rumah kita, maka harus kita jaga dan tidak boleh dijajah atau dirusak. Sebab itu, santri yang tak mencintai negerinya akan kualat oleh tuah KH. A. Wahab Chasbullah dan KH. M. Mbah Hasyim Asyari, dan kiai-kiai lain yang menyimpan Indonesia dalam urat nadinya.” (KH. A. Mustofa Bisri)
-----
Pasca-reformasi, semakin banyak saudara-saudara sebangsa kita yang menggugat format Ke-Indonesiaan. Ada yang menyodorkan ide negara federal seperti AS--meskipun ide ini hanya bertahan beberapa bulan saja karena tidak ada yang mengapresiasi—ada juga yang menyodorkan konsep Negara Islam, bahkan ada juga yang menawarkan gagasan Khilafah Islamiyah. Tawaran-ide yang apabila dibiarkan lambat laun akan menggerogoti keIndonesiaan sebagai sebuah rumah bersama. Sebagai seorang santri, saya bersyukur apabila di Indonesia kaum muslimin telah menemukan format ideal relasi antar Islam dan Negara, di saat beberapa negara lain terancam menjadi “negara gagal”. 

Setidaknya hingga saat ini ada beberapa negara muslim yang terancam menjadi negara gagal akibat ketidakberhasilan mensintesakan antara kebangsaan dan keislaman. Afganistan dan Somalia adalah dua negara yang paling mencolok kegagalannya dalam mewujudkan harmoni antara kebangsaan dan KeIslaman. Keduanya dipertentangkan. Seolah menjadi warga negara yang baik belum menjadi jaminan menjadi muslim yang baik. Di Afganistan, kelompok Taliban dan ISIS cabang Afganistan (nyaris identik tetapi saling bermusuhan) saling serang dengan kubu pemerintah Ashraf Ghani yang didukung AS dan sekutunya. Di Somalia, kubu Asy-Syabab merongrong kedamaian negara miskin tersebut. Di Nigeria, ada kelompok Boko Haram yang beberapa kali melancarkan serangan brutal di dalam negeri dan di Kenya.

Di Libya juga sama. Pasca tergulingnya Moammar Qadafi, kubu sekuler-demokrat punya pemerintahan tersendiri yang berkubu di Tripoli, sedangkan kubu Islamis yang berbaiat ke NIIS berkantor di Sirte. Mereka juga punya pemerintahan tersendiri. Masing-masing kubu bersikeras dengan idealismenya, dan Libya terancam pecah dan menjadi negara gagal.

Irak, bagaimana? Kubu pemerintahan yang didominasi kaum Syiah harus berhadapan dengan kubu NIIS, al-Qaidah, maupun kelompok suku-suku yang didominasi kaum Sunni. Kaum Kurdi juga turut membentuk front yang lebih pragmatis. Campur tangan AS turut memperumit kondisi Irak. Suriah, tetangga Irak juga mengalami nasib yang sama. Kubu Bashar Assad tak mau menyerah menghadapi pemberontak yang secara ideologis juga terbelah. Ada Free Syrian Army yang sekuler dan didukung AS; Jabhat Ah-Nushra yang merupakan al-Qaidah Cabang Suriah; ISIS yang lebih brutal; hingga Ahrar As-Syam dan brigade Nuruddin Zanki yang anggotanya lebih majemuk. Di palagan Suriah ini, ada bangsa Kurdi yang juga berkepentingan mendirikan negara Kurdi independen yang lepas dari Irak maupun Suriah. 

Apa kabar Yaman? Negara miskin ini malah babak belur dirudal oleh tetangga tajirnya, Arab Saudi, yang semakin khawatir pengaruh Syiah Houthi. 

Siapa yang diuntungkan atas konflik ini? Negara Barat dan para pialang senjata. Korbannya tentu saja rakyat. Semua yang berkonflik beragama Islam, lantas mengapa tidak bisa duduk bersama merumuskan yang terbaik untuk semua? Sebagaimana kata Syaikh Abdullah bin Bayyah, "Jika mereka yang berkonflik mengaku menginginkan perdamaian, lantas mengapa tidak langsung saja mengakhiri perang dan duduk bersama?" 

Saya melihat, selain ketidakadilan sosial dan ekonomi serta campur tangan asing, di dalam setiap konflik ada egoisme sektoral, baik egoisme sektarian maupun egoisme primordial (kesukuan). Egoisme sektarian antara lain ditandai dengan keengganan hidup dengan mereka yang berbeda madzhab maupun berbeda ideologi, serta berusaha memaksakan format keagamaan tunggal sebagai wujud dominasi. Hal ini bisa kita lihat di Afganistan, tatkala etnis Hazara yang minoritas dan berpaham Syiah dibunuhi oleh Taliban dan ISIS yang menganggap Syiah sebagai “murtadin”. Egoisme sektarian ini juga tampak melihat apa yang terjadi di Nigeria, Somalia, Libya, Irak dan Suriah tatkala saudara kita yang berpaham keras memaksakan kehendak dan paham keislamannya kepada warga negara lainnya. Akibatnya, tak ada kompromi di sini. Sedangkan egoisme primordial bisa kita lihat di Irak dan Libya ketika beberapa kabilah turut serta dalam perang saudara. Di Afganistan, egoisme primordial tampak pada saat etnis mayoritas Pushtun terlibat kontestasi yang pelik dengan etnis Tajik. Campurtangan AS turut memperuncing konflik di Afganistan ini.

Ketika terseret revolusi Musim Semi Arab, Mesir nyaris perang saudara, apalagi ketika Muhammad Mursi dikudeta Jenderal As-Sisi. Kaum nasionalis dan kubu Ikhwanul Muslimin berhadap-hadapan bahkan saling serang. Untunglah ada para ulama al-Azhar yang berusaha menengahi konflik ini meskipun mereka juga mendapatkan tudingan sebagai pendukung As-Sisi. Universitas al-Azhar, yang sejak awal menjaga netralitasnya dalam berpolitik praktis, kecuali politik kebangsaan, turut andil dalam menjaga stabilitas politik di Mesir. Andaikata tidak ada penengah, maka bukan mustahil jika Mesir bakal bersimbah darah dan stabilitasnya semakin terpuruk.

Di Tunisia, kwartet Liga Nasional turut menjaga stabilitas negara tersebut sehingga tidak terjerumus perang saudara usai Musim Semi Arab. Namun, jika dicermati, Tunisia bisa terhindar dari perang saudara karena di negara tersebut ada Partai An-Nahdlah yang memilih berkompromi dengan kaum nasionalis. Sebagai partai dominan, An-Nahdlah yang seideologi dengan Ikhwanul Muslimin bisa saja melakukan Islamisasi besar-besaran, namun mereka memilih jalan perjuangan bukan sebagai “penguasa” melainkan sebagai “pengontrol” atas jalannya pemerintahan sembari menyesuaikan corak ideologi Islamisnya dinamika kebangsaan di Tunisia.

Lantas mengapa semua konflik di atas kebanyakan melanda berbagai negara yang dihuni mayoritas kaum muslimin? Secara kasat mata, pola mengerikan seperti di atas terjadi antara lain antara lain karena pertukaran ide dan perumusan konsep “rumah bersama” menemui jalan buntu; antara kaum demokrat-nasionalis, pengusung negara Islam hingga pengerek konsep khilafah ala ISIS alias Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) masing-masing bersikukuh mempertahankan konsep idealisme.

Pager Mangkok dan Pager Tembok

Sebagai seorang santri, saya melihat apabila konsep NKRI adalah upaya final mewujudkan konsep berbangsa dan bernegara. Inilah ijtihad kebangsaan umat Islam Indonesia yang bisa diterima oleh umat lain sebagai "rumah bersama". Tidak perlu diubah menjadi Negara Islam, bahkan kekhilafahan. Kalaupun ada kekurangan, mari diperbaiki. Bukan lantas dicaci-maki lalu berusaha merobohkan tembok bahkan fondasi kebangsaannya. Terlalu beresiko apabila sebuah fondasi dihancurkan. Saya teringat wejangan dari salah satu santri KH. M. Hasyim Asy’ari yang bernama KH. Muchith Muzadi, pada saat saya sowan ke kediamannya, malam Idul Fitri, tahun 2008 silam.

KH. A. Muchith Muzadi mengibaratkan, Indonesia adalah sebuah rumah besar yang dibangun secara gotong royong. Ibarat membangun rumah yang akan ditinggali bersama-sama, fondasinya didirikan kaum muslimin, temboknya didirikan kaum Nasrani, pintunya dibuat oleh kelompok Hindu, gentengnya dipasang oleh umat Budha, sedangkan kaum Konghucu bagian memperindah suasana dengan ragam cat yang berwarna warni. Semua punya andil dan wajib bagi semua kelompok menjaga harmoni antar penghuni rumah dan bersama-sama menjaga kelestarian rumah besar bernama Indonesia. Manakala ada penghuni rumah maupun orang asing yang mau merobohkannya, maka harus dicegah, bagaimanapun caranya.

Bagi saya, ini adalah salah satu pandangan brilian dari seorang ulama mengenai penempatan aspek Keislaman dalam keIndonesian. Ini adalah salah satu fundamen kearifan lokal ala ulama kita, yakni berusaha secara aplikatif menempatkan relasi Islam dan Indonesia sebagai relasi jiwa dan raga. Jika Islam sebagai agama, maka Indonesia sebagai negara-bangsa. Keduanya membentuk Islam Indonesia, yang berusaha menjiwai bangsanya, bukan sekadar Islam di Indonesia. Oleh karena itu, apabila dicermati, di antara keunikan Indonesia adalah mampu mengkombinasikan keIslaman dan kemodernan, keislaman dan demokrasi, serta keislaman dan kebangsaan. Andaikata mau, para ulama bisa saja menjadikan negara ini berbentuk Negara Islam, tetapi mereka bersepakat apabila republik adalah pilihan yang tepat sebagai bentuk negara.

Untuk mengkawinkan aspirasi Islam ke dalam aspirasi ke-Indonesiaan, mesti menempatkan dulu Islam sebagai sistem dari kultur Indonesia. Dengan demikian kemunduran atau kemajuan Islam akan tercermin dalam maju atau mundurnya moralitas dan intelektualitas bangsa. Dalam hal ini, terjadilah proses asimilasi, misalnya Islamisasi Jawa maupun Jawanisasi Islam, yang saling menyatu dan memperkaya. Ini karena Islam sejak awal tidak datang untuk menaklukkan Jawa melainkan mengembangkan masyarakat Jawa yang sudah beradab dengan mengakui hak-hak kultural masyarakat setempat yang selama ini mereka jalankan dan kembangkan. Lagi pula, Islam di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, selama ini dinilai memiliki konsep dan bentuk politik yang berbeda dari wilayah negeri muslim Afrika Utara, Semenanjung Arab, maupun Asia Selatan. Islam di wilayah ini memiliki karakter yang khas. Misalnya cenderung toleran, moderat, dan inklusif. Selain itu ia lebih bersifat kultural, dan tidak politis struktural.

Kekhasan ini terbentuk melalui proses sosiologis-kultural yang panjang, yang antara lain bisa ditelusuri melalui kebiasaan kolektif melalui ritus-ritus acara keislaman, atau yang di sebut oleh Azyumardi Azra sebagai tradisi Islam yang “berbunga-bunga”, maksudnya kebiasaan kaum muslimin yang senantiasa menyelenggarakan ritus-ritual keagamaan secara kolektif.
Ketika pernikahan, maka tetangga diundang melalui walimatul urusiy, lalu ketika hamil 3 dan 7 bulan kerabat dan tetangga diundang untuk ikut mendoakan, ketika akikah yang disertai walimat tasmiyah juga ada makan bersama, kemudian ketika anak bisa berjalan, ada acara selamatan yang mendoakan keselamatan dan kesolehan si anak. Demikian pula saat anak khatam juz amma, khatam al-Qur’an, lulus ujian, nisfu sya'ban, maulidan, dan berbagai tradisi sebagainya. Semua ada ritusnya, ada doa keselamatan di dalamnya. Ketika menempati rumah, tasyakuran umrah, walimah haji, dan sebagainya, semua ada doa, dan tentu saja makan-makannya. Dalam kacamata ekonomis ini terlihat pemborosan, namun sebagai perekat sosial, ini adalah sebuah tradisi mulia yang selain bisa mempererat tali silaturrahim juga bisa menjadi salah satu kultur penyangga keutuhan bangsa. Semakin sering berkumpul sambil makan bersama, semakin kuat ikatan emosional yang memupuk soliditas dan solidaritas kolektif. Jika ini terus dirawat dan dipelihara, maka lebih mudah dicarikan jalan keluarnya apabila ada masalah. Dalam falsafah Jawa, ada ungkapan "pager mangkok luwih kuwat tinimbang pager tembok". Guyub rukun dengan kerabat dan tetangga lebih baik daripada membangun pagar tinggi tapi abai dengan sekitar.

Selain itu, berbagai tradisi di atas ini adalah salah satu wujud "Islamisasi Masyarakat". Jika masyarakat sudah Islam(i) otomatis pula negara ikut Islam(i). Ini khas Walisongo, taktik bottom up. Taktik bottom up ini evolutif namun bertahan lama, berbeda dengan implementasi top-down yang revolutif dan banyak konsekwensi logisnya. Maka, implementasi taktik ini adalah penguasaaan medan dengan mendirikan pesantren, bukan LSM Islam partikelir, atau ormas swasta atas nama "Islam".

KH. Maimoen Zubair, dalam acara peringatan 7 hari wafatnya KH. A. Aziz Masyhuri Denanyar menceritakan kisahnya di tahun 1948. Saat itu di perjalanan beliau mampir di sebuah desa. Tidak ada musala, juga tidak ada masjid meskipun mayoritas penduduknya mengaku muslim. Mereka muslim tapi tidak menjalankan sembahyang. Namun kini, lanjut Mbah Moen, kita bisa melihat semangat kaum muslimin dalam menjalankan agamanya. Masjid dan musala ada di setiap desa. Acara keagamaan juga semarak. Berdasarkan cerita Mbah Moen, kita bisa melihat apabila keislaman adalah sebuah proses yang terus berjalan. Demikian pula dengan relasi antara keIslaman dan keIndonesiaan.

Dalam batas pemahaman saya, yang ingin diwujudkan para ulama kita, khususnya yang berada di kalangan NU dan Muhammadiyah, bukan "Islam Hizby" alias Islam sebagai sebuah organ, entitas, kelompok, golongan, melainkan "Islam Hadlary" alias Islam sebagai sebuah peradaban yang menjadi payung Nusantara, menjadi motor penggerak, sekaligus menjadi pelopor. “Islam Hizby” telah mengalami kegagalan di Timteng pada dasawarsa ini, karena saling baku bunuh dan klaim kebenaran kelompok. Kini, harapan tinggal tersemat pada “Islam Hadlary” yang tidak akan tumbuh kecuali dengan mengapresiasi heterogenitas, koeksistensi, dan multikulturalisme.

NU dan Muhamamdiyah menyadari bahwa membangun dan mempertahankan Indonesia tidak bisa dilakukan kecuali dengan cara menggandeng tangan pihak lain. Peradaban mustahil dibangun dengan egosentrisme sektarian, karena peradaban hanya bisa diwujudkan oleh mereka yang berjiwa besar yang memahami hakikat multikulturalisme, pluralisme serta sikap koeksistensi.

Menutup tulisan ini, saya kutip salah satu ucapan keren dari Habib Luthfi bin Ali bin Yahya, salah seorang ulama nasionalis, “Muslim itu harus seperti air laut, meskipun ratusan sungai mengalirkan air tawar, ia tetap asin dan tak pernah memaksa ikan di dalamnya menjadi asin. Ketika kita akan melakukan perbuatan tercela, ingat Merah-Putih, malu di dalamnya ada tumpah darah para pahlawan dan jati diri bangsa yang memiliki adat dan etika ketimuran."

Wallahu A’lam Bisshawab

(Makalah yang saya sampaikan dalam acara kajian Islam yang digelar oleh Sie Kerohanian Islam Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Kamis Malam Jumat, 27 April 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima-kasih atas kunjungan sobat. Silahkan berikan komentar anda (saran, pertanyaan, ataupun kritikan) untuk kemajuan blog ini dengan bahasa yang sopan.