Kamis, 09 Desember 2021

RATIH #11

 Cerbung

*Ratih*

A story by Nia Ahlam

Part 11


"Ratih, aku pamit pulang." 

Akhirnya suara dokter memecahkan keheningan di antara mereka berdua. 

"Iya Pak," 

Ratih menoleh ke arah pujaan hatinya, dan pandangan mata mereka pun beradu. 

Ratih lalu menundukkan kepalanya merasa malu. 

"Ratih, matamu begitu indah. Membawa kesejukan kepada siapapun yang memandangnya."

Dokter Galih benar-benar telah jatuh hati dengan sinar mata gadis yang berada dihadapannya. 

"Pak Dokter terlalu berlebihan memuji saya," 

Ratih menyahuti pujian Galih terhadapnya. 

"Pak, tadi bapak bertanya apakah saya pun menyukai bapak?" Ratih lanjutkan percakapan, 

"Saya belum bisa menjawabnya, tapi saya pun bahagia setiap bertemu bapak." 

"Benarkah Ratih?" 

Spontan dokter meraih kedua tangan Ratih dan menggenggamnya, Ratih pun tidak menolak, dia merasakan satu getaran indah saat kedua tangan mereka bersentuhan dalam genggaman. 

Satu rasa yang seumur hidup baru dialaminya. 

"Tapi Pak, saya mau bertanya, kenapa bapak bisa merasa suka terhadap saya? Sedangkan semua orang membenci saya Pak? Saya hanyalah seorang gadis buruk rupa yang kehadirannya tak dikehendaki siapa pun." 

Perlahan Ratih menarik tangannya lepas dari pegangan dokter. 

"Mungkin sampai kapanpun tak akan pernah ada jawaban untuk pertanyaanmu Ratih, karena aku pun tak tahu mengapa aku bisa menyukai bahkan jatuh cinta padamu. Aku rasa semua ini adalah rahasia Illahi, dan anugerah darinya. Begitu banyak gadis di sekelilingku sebelum bertemu denganmu, namun keindahan rasa seperti disaat bersamamu belum pernah aku rasakan." 

Seakan jawaban tersebut pun dokter peruntukan bagi dirinya selain menjawab pertanyaan Ratih, karena cintanya terhadap Ratih, memang tak dapat dia pahami. 

"Pak, saya bahagia dengan apa yang bapak tuturkan terhadap saya, namun saya harap bapak memikirkannya lagi, jangan sampai ada penyesalan dihati bapak." 

Begitu indah tutur kata yang Ratih sampaikan, benar-benar sang ibu telah berhasil memberikan didikan yang penuh etika pada putri semata wayangnya tersebut. 

Dokter Galih berdiri, dan dia raih tangan Ratih agar ikut berdiri mengikutinya. 

Ratih menuruti keinginan dokter tampan tersebut, dia pun ikut berdiri.  

Kini mereka berdua berhadapan, namun Ratih tetap menunduk, dengan segala gejolak rasa di dadanya. 

Bahagia, berbunga-bunga. 

Tak dapat menahan perasaanya, tiba-tiba dokter memeluk Ratih, erat, sangat erat, 

"Ratih, aku mencintaimu, tak perduli apapun dan siapapun adanya dirimu, aku akan menikahimu, dan akan berusaha membuat dirimu bahagia bersamaku Ratih! Apakah kamu bersedia menjadi istriku?" 

Nyaman dalam pelukan dokter, membuat dadanya semakin berdebar, namun pelukan dokter yang begitu erat, membuat Ratih sedikit sesak dan tidak bisa berkata menjawab pertanyaan beliau. 

Ratih lalu mendorong pelan badan dokter, dan dia melepaskan diri dari pelukannya. 

"Pak, saya akan bicara dengan ibu untuk jawabannya. Maaf, saya tak bisa memutuskan sendiri untuk hal yang begitu besar dalam hidup saya." 

Ratih benar-benar merasa bingung, 

"Saya harap Pak dokter mau menunggu dan tidak kecewa dengan jawaban saya ini." 

Dokter tersenyum, 

"Apapun yang akan kamu katakan, takkan pernah membuat aku kecewa Ratih. Akan kutunggu sampai kapanpun jawaban darimu." 

"Terima kasih Pak." 

"Mulai sekarang, jangan panggil aku bapak ya, panggil aku Mas atau Galih saja." 

"Gak bisa Pak, sudah terbiasa karena bapak seorang dokter." 

Ratih memang merasa kaku dan canggung jika harus memanggil nama dokter. 

"Pokoknya kamu harus membiasakan diri ya! Ayo kita ke depan, aku mau pamit pulang dulu, sudah sore, sekalian kamu antar aku ke tempat aku memarkir sepeda motorku ya." ajak dokter, dan Ratih pun mengangguk sebagai jawaban mengiyakan. 

Sesampainya di depan, terlihat ibu Ratih sedang menikmati segelas teh dan sepiring singkong rebus. 

"Ayo Nak dokter, sini cobain singkong nya." 

"Makasih Bu, mungkin lain kali. Saya mau pamit pulang dulu, sudah sore." 

"Bu, Ratih antar pak dokter sampai depan ya?" Ratih ijin kepada ibunya. 

"Iya, gak apa-apa." 

Ibu Ratih tersenyum, benar-benar mengerti akan perasaan kedua insan di hadapannya. 

Ratih dan Galih berjalan beriringan, mereka merasa canggung, entah apa yang mau di jadikan obrolan. 

Hanya keduanya merasakan hal yang sama, saling meyukai satu sama lain, sama-sama bahagia saat berduaan, dan selalu saling merindukan saat berjauhan. 

Tak terasa, sampai juga di jalan besar, tempat sang motor selalu setia menanti sang tuan, 

"Ratih, aku pamit ya. Besok kamu mau pergi kepasar tidak?" 

"Belum tahu Pak, eh Mas." Ratih meralat panggilannya sambil tersenyum.

"Nah begitu Ratih, aku suka mendengarnya." 

Saat mereka sedang bersenda gurau seorang bapak dan seorang wanita lewat di depan mereka, 

"Eh Pak Dokter, permisi." 

Mereka menyapa dokter, namun sudut mata mereka sinis memandang ke arah Ratih. 

"Oh iya, silahkan Pak, Bu." Jawab dokter sambil tersenyum. 

"Baiklah, Ratih calon istriku, Mas pamit ya. Sampai ketemu besok." 

Dokter Galih benar-benar merasa bahagia dan tertawa lepas. 

Sementara Ratih hanya menjawab dengan anggukan. 

Dan tersipu dibalik kerudung yang menutupi wajahnya. 

Dokter menghidupkan motornya dan melajukan pelan sambil melambaikan tangan ke arah Ratih.

Setelah jauh, dan menghilang dari pandangan matanya, motor dan pemuda pujaannya, Ratih pun berbalik pulang. 

🍀🍀🍀 

Ibundanya tersayang masih duduk di amben teras rumah nya, sambil tersenyum menyambut putrinya kembali. 

"Bu," ragu Ratih berkata, 

"Ada yang mau Ratih sampaikan." 

Ratih duduk di samping ibunya. 

"Ada apa Nak?" 

"Dokter bilang, dia menyukai Ratih Bu." 

Ratih benar-benar tersipu malu, mungkin jika tanpa kerudung pipinya pastilah merah merona. 

"Lalu, bagaimana dengan perasaan kamu?" 

Sang ibu malah menggoda putrinya, padahal dia dapat menebak dan merasakan kalau putrinya pun sama menyukai pemuda tampan tersebut. 

"Ah ibu, Ratih sih terserah ibu. Apa kata Ibu pasti Ratih ikuti Bu." 

"Ratih, dalam hal apapun ibu selalu ikut mengatur kehidupanmu, kecuali tentang yang satu ini, cinta dan jodohmu. Selain semua Alloh yang menentukan, kamu pun harus bisa memilih sesuai apa yang kamu rasakan Nak. Ibu harap kamu bisa berbahagia dalam fase hidup kamu selanjutnya, fase berumah tangga Nak." 

"Bu, dokter berkata, beliau ingin menikahi Ratih. Mungkinkah Bu?" 

"Kamu mencintai dokter Nak? Kamu bahagia seandainya hidup bersamanya?" 

"Ratih tak tahu Bu, Ratih tak mengerti. Tapi, Ratih selalu ingat pak dokter setiap saat, dan dada Ratih berdebar-debar kalau dekat pak dokter." polos Ratih menjawab sang ibu. 

"Namun, di satu sisi, Ratih masih belum bisa percya orang seperti beliau bisa menyukai Ratih Bu." 

Ratih menunduk, tangannya asik melinting, memuntir ujung kerudung yang dipakainya. 

"Nak, boleh ibu beritahu kamu sesuatu?" 

Diraihnya kepala putri tercintanya, dibelainya dengan lembut. 

Ratih hanya mengangguk sebagai jawaban kepada sang ibu. 

"Ibu sangat bahagia mengetahui dokter menyukaimu, ibu yakin, dia akan berusaha membahagiakanmu. Walaupun badai pasti akan datang menghantam jalinan kasih kalian, namun cinta yang didasari karena kehendak Allah, pasti akan kuat menepis semua badai dan rintangan, insyaaAllah Nak. Dokter menyatakan perasaannya dengan setulus hati, dia mencintaimu dengan semua kekurangan yang ada pada dirimu, pada kita. Jadi, kalau bukan karena Allah yang membawanya kepada kita, karena dasar apalagi? Tak ada alasan kan? Ibu berdoa semoga kalian bisa berjodoh dan hidup bahagia, restu ibu bersamamu Nak, raihlah kebahagiaan dalam hidupmu yang selama ini tertunda." 

Ucapan sang ibu diakhiri dengan kecupan di kepala putri semata wayangnya. 

Dan kemudian beliau mengingatkan Ratih untuk segera membersihkan tubuhnya karena hari sudah petang, dan sudah waktunya membilas semua lulur rempah yang setia membalut tubuhnya.


Next ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima-kasih atas kunjungan sobat. Silahkan berikan komentar anda (saran, pertanyaan, ataupun kritikan) untuk kemajuan blog ini dengan bahasa yang sopan.