Cerbung
*Ratih*
A story by Nia Ahlam
Part 7
"Ratih, apa kabar? Kamu tidak merasa terganggu kan dengan kehadiran saya?"
Dokter memulai percakapan, sambil meraih remah yang disediakan Ratih buat gerombolan ikan yang sedang menari di air sungai yang sangat jernih.
"Tentu tidak Pak."
Ratih menjawab dengan suara yang sedikit bergetar dan sangat pelan.
Pemuda tampan disampingnya tidak akan pernah tahu, bahwa sesungguhnya dia merasa sangat bahagia.
"Syukurlah, Ratih, entah kenapa sejak pertama melihatmu berlari di dalam hutan waktu itu, saya selalu mengingatmu, dan ingin lebih dekat denganmu."
Semua perkataan pak dokter meluncur begitu saja seperti meluncurnya mobil di sebuah jalan tol.
Ratih tak berikan jawaban, dia hanya tersipu, padahal dalam batinnya mengatakan hal yang sama, bahwa diapun tak bisa melupakan gambaran sang dokter tampan dari jiwanya.
"Ratih, kamu sebenarnya sakit apa? Sehingga harus mendapatkan baluran rempah dan selalu menutupi wajahmu?"
Dokter mengutarakan lagi rasa penasarannya.
"Kata ibu, ini penyakit kulit Pak. Dan mingkin jika saya membuka kerudung dari wajah saya orang-orang akan ketakutan." Ada nada sedih diucapan gadis tersebut.
"Oh, begitu. Mungkin saya bisa bantu berikan pengobatan Ratih?"
Dokter menawarkan jasa dengan niat ingin membuat Ratih bahagia.
"Tak usah Pak, saya yakin ibu bisa mengobati saya, karena beliau bilang sebentar lagi juga selesai."
Ratih memberikan jawaban sesuai dengan kata-kata ibunya.
"Oh, ya sudah, kamu sabar dan tetap semangat ya."
"Iya Pak."
Ratih menggenggam lagi remah dan melemparkannya ke sungai.
Ikan-ikan kecil merasa senang hingga mereka meloncat-loncat dan rebutan makanan di dalam sungai berair jernih tersebut.
Tak terasa sudah senja, dan saatnya Ratih untuk membersihkan diri, ibunya pasti sudah sedang menunggu di rumah,
"Pak dokter, sudah petang saya mau pulang."
"Oh iya, tak terasa ya. Saya pun harus pulang Ratih, padahal masih senang sekali ngobrol denganmu."
Sebenarnya enggan sekali Galih harus pulang, dia merasa sangat nyaman berada di samping gadis tersebut.
Namun memang kurang sopan juga jika harus bertamu sampai larut, apalagi yang dia kunjungi keduanya wanita, bisa menjadi fitnah.
Merekapun berdiri, dan berjalan menuju rumahnya Ratih.
"Asyik benar kalian, sampai lupa pulang hari sudah petang, ibunya Ratih sedang duduk di amben, sambil memeluk si Hitam, kucing kesayangan mereka.
Namun, wajahnya tersenyum bahagia melihat ada seseorang mau berkawan dengan anaknya.
Bukan karena Galih seorang dokter, namun sang ibu merasakan ada ketulusan dari jiwa dokter muda tersebut saat mengunjungi mereka.
"Maafkan saya Bu, saya benar-benar terpesona melihat keindahan sungai disana, pantesan Ratih selalu betah berlama-lama."
Dokter Galih minta maaf, karena dia merasa tidak enak terhadap ibunya Ratih.
"Tidak apa kok Nak dokter, toh kalian tidak pergi jauh-jauh."
Ibunya Ratih tahu kalau dokter merasa tidak enak dengan dirinya,
"Ratih, buatkan dokter teh manis, kasian dari sejak datang kita tidak memberikan suguhan apapun."
"Tidak usah Bu, saya mau pamitan pulang, takut keburu adzan Maghrib."
"Oh, iya silahkan. Lain kali kemari lagi ya, ibu tunggu lo Nak."
"Pasti Bu, saya juga senang bisa menemani Ratih ngasih makan ikan."
Dokter mencoba bercanda, padahal semua yang dia ungkapkan benar-benar sejujurnya dari apa yang dia rasakan.
Sementara Ratih hanya bisa menatap sang dokter dari balik bahu ibundanya.
🍀🍀🍀
Hari minggu Puskesmas libur, namun dokter Galih siap buka praktek dirumah dinasnya.
Rumah dinas beliau tepat di samping kantor Puskesmas.
Pagi ini dokter sedang manjalankan rutinitas mingguan, lari pagi dilanjutkan dengan senam di halaman rumahnya.
Ya semua rutin dokter Galih lakukan agar tetap menjaga kebugaran tubuhnya.
Dokter yang pendiam, namun ramah dan murah senyum tersebut, dari pagi sudah banyak sekali mendapat ucapan salam dari penduduk yang lalu lalang.
Begitulah suasana hidup dikampung, masih penuh dengan keramah-tamahan.
Selesai berolahraga, dokter pun masuk ke dalam rumah hendak mendinginkan badan sejenak kemudian membersihkan diri, alias mandi.
Namun, baru saja dia menutup pintu rumahnya, terdengar seseorang memanggilnya dari luar,
"Pak dokter, Pak dokter, tolong.."
Suara perempuan bernada kecemasan, ada apa rupanya.
Dokter Galih merasa khawatir, cepat dia membuka pintu rumahnya, dia terkejut karena Ratihlah yang berada di depan pintu.
"Ratih? Ada apa, kok sepertinya kamu khawatir banget? Kamu diganggu anak-anak lagi ya?"
Seberondong pertanyaan begitu saja keluar dari mulut pak dokter.
"Anu Pak, saya mau minta tolong Nek Minah di pasar sedang sakit."
Ratih terlihat sangat gugup.
"Oh, iya Ratih, insyaaAllah saya bantu, tunggu bentar ya saya ambil alat dulu dan obat, silahkan kamu masuk ke dalam!"
"Tidak apa Pak, saya tunggu di sini saja." Ratih merasa segan dan malu.
"Baiklah."
Dokter Galih masuk ke dalan kamar prakteknya, dan mengambil satu box peralatan prakteknya.
Lalu beliau segera berangkat bersama Ratih, menuju pasar ke kios Nek Minah.
Sesampainya di kios, terdengar rintihan Nek Minah, mereka masuk dan terlihatlah seorang nenek yang sudah renta, terbaring sambil mengaduh kesakitan.
Tangannya memegang perut, seakan perutnyalah yang membuatnya sakit.
"Nek, ada pak dokter mau mengobati nenek!"
Ratih mendekati si nenek dan memberitahu kalau dia datang bersama dokter.
"Iya Ratih, perut nenek sakit sekali."
Next ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima-kasih atas kunjungan sobat. Silahkan berikan komentar anda (saran, pertanyaan, ataupun kritikan) untuk kemajuan blog ini dengan bahasa yang sopan.