Sabtu, 09 Oktober 2021

Ratih #2

 Cerbung

*Ratih*

A story by Nia Ahlam

Part 2


Di waktu yang sama, dilain tempat. 

Yaitu di kampung terdekat dengan hutan tempat Ratih dan ibunya tinggal. 

Kampung itu bernama Mekar Mukti, diteras sebuah rumah, terlihat dua orang laki-laki sedang mengobrol. 

Dihadapan mereka terdapat dua gelas kopi dan gorengan sebagai suguhan, laki-laki yang tua memulai pembicaraan. 

"Nak dokter, bagaimana perasaannya tinggal di kampung kami yang sangat terpencil?" 

Bapak tua tersebut adalah bapak kepala kampung, atau pak Lurah, dan laki-laki yang menjadi lawan bicaranya, adalah seorang dokter muda dari Jakarta yang sedang bertugas sebagai kepala Puskesmas di kampung tersebut, menggantikan petugas yang terdahulu karena selesai masa tugasnya, pensiun. 

"Alhamdulillah Pak Lurah, saya sangat kerasan, betah, apalagi kampung kita ini masih sangat asri, walaupun di jaman sekarang, tapi masih terasa keindahan dan kenyaman kehidupannya. Jauh banget dari suasana tempat saya di Ibukota." Pak dokter menjawab sambil tersenyum. 

"Syukurlah, bapak cuma khawatir, kalo Nak dokter malah kesepian disini." 

"Tidaklah Pak, sebenarnya sudah resiko kami, sebagai petugas medis, harus bisa adaptasi kemanapun kami akan ditempatkan, tapi sejujurnya saya sangat bahagia bisa berada diantara kalian, apalagi semua warga disini sangatlah ramah." Lanjut pak dokter muda, yang sangat tampan tersebut, dengan postur badan medium, kulit kuning langsat, raut muka begitu enak dipandang mata, tidak membosankan. Pastilah idaman semua gadis. 

"Oh ya?" Pak lurah tampak tersenyum bahagia. 

"Silahkan diminum kopi nya Nak dokter, maaf cemilan nya cuma gorengan, maklum di kampung." 

"Iya Pak, makasih banyak," 

Dokter pun meraih cangkir kopi dan meminumnya, 

"Pak, maaf kalau boleh saya mau minta ijin, saya kebetulan hobby dengan bunga Anggrek, saya dengar dipinggir kampung sini masih ada hutan kecil ya pak? Saya minta ijin untuk mencari anggrek liar disana." 

"Iya.. iya.. ada Nak dokter, silahkan, tapi, demi keamanan nak dokter kalau mau pergi biar ditemanin Parmin, penjaga Puskesmas ya." 

Tampak sumringah wajah dokter ganteng tersebut, 

"Baik Pak, makasih sekali lagi atas ijin nya. Mungkin besok saya akan mulai menjelajah, dan berharap menemukan apa yang saya cari." 

"Mudah-mudahan Nak, jangan khawatir, Parmin juga jagoan naik pohon." 

Pak Lurah tertawa dengan lepas. 

"Baiklah Pak, saya mohon pamit, sudah agak larut juga. Sampaikan salam saya buat Ibu ya."

Dokter muda itupun berdiri dan berpamitan, 

"Lah, masih sore kok nak. Bapak senang ada temen ngobrol!" 

"Lain kali saya main lagi pak, asal bapak tidak merasa bosan dan terganggu dengan kedatangan saya." 

"Tentu tidak nak, hati-hati dijalan ya, agak gelap jalanan kampung kalau malam hari, apalagi nak dokter mengendarai motor." 

"Baik pak, terimakasih!" 

Dan sang dokter tampan pun berangkat pulang ke rumah dinasnya.

🍀🍀🍀

Pagi yang sangat cerah. 

Mentari masih jingga di ufuk timur, kehangatannya belum terasa. 

Namun sinarnya membawa kedamaian dihati semua mahluk hidup. 

Kicauan burung begitu riang. 

Begitupun suasana hati Ratih dan ibunya. 

Ratih sedang mendapatkan luluran harian yang tak pernah terlewatkan walau seharipun, ya, luluran rempah dengan bau kunyit yang sangat menyengat, namun sudah terbiasa bagi penciuman si gadis dan sang ibu. 

Dengan penuh kasih, beliau membaluri seluruh tubuh anak semata wayangnya tersebut, dan berakhir dengan coreng moreng di wajah sang gadis yang berkulit halus tersebut. 

Setelah selesai, Ratih meraih selembar kain yang biasa dipakai untuk memikul kayu bakar. 

Dan tak lupa sebilah golok kecil kesayangannya, untuk membereskan ranting-ranting kayu yang akan dikumpulkannya. 

"Bu, Ratih berangkat ya," 

Si gadis meraih tangan ibunya dan mengecupnya sebagai salam pamit darinya, 

"Ratih mau ajak si Hitam ya Bu!" 

Si hitam adalah kucing kesayangan mereka yang sudah hampir sepuluh tahun hidup bersama mereka. 

"Iya Nak, biar kamu tak kesepian di hutan nanti," sang ibu mengiyakan dengan senyuman.

"Jangan terlalu siang kamu pulangnya Nak! Jangan sampai telat makan siang nanti," 

"Baik Bu." 

Ratih dan si hitampun berjalan penuh keriangan, menyusuri jalanan tanah, yang dikiri kanan dipenuhi bunga-bunga liar yang sangat indah. 

Hutan tersebut tidak terlalu rimba, sehingga tidak menakutkan untuk dimasuki. 

Dalam rimbunan pepohonan masih banyak sinar mentari masuk dari sela-sela dedaunan. 

Kurang lebih berjalan lima belas menit, Ratih mulai melihat ranting-ranting kering yang berserakan, tangan nya yang ramping indah dengan cekatan mengumpulkan ranting-ranting tersebut dan mengonggokan nya di satu tempat. 

Kemudian dia berjalan lagi semakin kedalam hutan. 

Ratih mulai berkeringat, setelah hampir dua jam berkeliling mengumpulkan kayu bakar, si hitam dengan setia menemaninya berjalan, sesekali si hitam menyibakan rerumputan dengan kakinya, mungkin dia melihat serangga yang berjalan. 

Ditengah hutan tersebut, ada sebuah telaga kecil yang sangat jernih. 

Ratih suka sekali duduk di tepi telaga jika sudah merasa lelah sebelum pulang dan mulai mengumpulkan kembali ranting yang sudah dionggokan di sepanjang jalan. 

Dia duduk menatap jernihnya telaga sambil memangku si hitam di pahanya. 

Dia mengelus-ngelus tubuh kucing cantik dengan bulu hitam legam yang mengkilat. 

Sungguh pemandangan yang sangat mistis, gadis berkerudung dan menutup muka dengan sosok kucing hitam ditengah hutan. 

🍀🍀🍀

"Pak Min, lihat dipohon itu Pak, sepertinya anggrek merpati," 

Ternyata pak dokter sedang menjelajahi hutan berburu anggrek bersama penjaga puskesmas, pak Parmin. 

Beliau berbicara kepada pak Parmin sambil menunjuk sebuah pohon yang tak begitu tinggi. 

"Eh.. iya pak Galih,, eh.. eh.. pak Dokter," pak Parmin rupanya sedikit gagap. 

Orangnya memang lucu, walaupun sudah separuh baya, tapi banyak bergurau, terlebih karena sedikit latah. 

Dan pak dokter tersebut memang bernama Galih, namun setiap orang lebih terbiasa memanggilnya pak dokter. 

Pak Min, pun menaiki pohon tersebut dan mengambil bunga anggrek liar yang menebarkan harum khas nya, sungguh menyejukan penciuman. Sangat segar. 

Dan beliau memberikan nya kepada pak dokter yang sudah siap dengan keranjang bambu.

Dokter Galih pun tersenyum bahagia karena sudah mendapatkan apa yang diidamkannya. 

"Kita jalan lagi Pak," ajak pak dokter. 

Pak Min pun membuntuti beliau. 

Mereka menyusuri jalan sampai ketengah hutan. 

"Owwh.. Anggrek bulan pak Min," 

Dokter berteriak tanpa sadar, karena pandangan nya menemukan sebuah anggrek bulan yang sangat indah sedang berbunga, berwarna ungu. 

Ratih yang sedang asik bersama sihitam tersentak mendengar teriakan seseorang, matanya berputar mengelilingi telaga, dan terbentur melihat dua orang diseberang telaga sedang melihat keatas sebuah pohon. 

Ratih ketakutan, dia bergegas bangun, saking terburu-buru dia menginjak ranting-ranting kecil hingga berbunyi krosak. 

Ratih sedikit berlari dan pergi ke dalam hutan menuju arah pulang. 

Dokter pun terkejut mendengar bunyi krosakan ranting, matanya mengitari sekeliling dan beliau melihat seorang wanita berlari menuju kedalam hutan dibuntuti seekor kucing. 

"Pak Min, sana lihat, saya melihat seorang perempuan berlari." 

Pak dokter menepuk bahu pak Min sambil menunjuk arah larinya si gadis, Ratih. 

"Eh.. lari.. eh apa pak Dokter?" 

Pak Min mengikuti telunjuk pak dokter. 

"Itu Pak, wanita sama kucing. Siapa mereka ditengah hutan?" 

"Oh, paling juga gadis buruk rupa penunggu hutan ini Dok." 

Pak Min tampak biasa-biasa saja saat berbicara. 

"Penunggu hutan? Buruk rupa?" 

Dokter merasa aneh dengan kata-kata pak Min barusan. 

"Maksudnya hantu atau manusia pak?" Dokter penasaran. 

"Manusia atuh pak Dokter, mana ada hantu disiang bolong ih!" 

Pak Min tertawa ngekek. 

Dia lalu ngeloyor meninggalkan dokter tampan yang sedang terbengong-bengong. 

Pak Min menaiki pohon dan memetik bunga anggrek yang sangat indah tersebut, namun, anggrek bulan tidak memiliki wewangian. 

Pak dokter sepanjang jalan, terus dirasuki rasa penasaran dengan cerita gadis buruk rupa tersebut. 

Namun merasa tidak enak mau bertanya terus kepada pak Min. 

Sementara, Ratih yang ketakutan bergegas mengumpulkan kayu bakar dan memikulnya membawa pulang kerumah. 

Nafasnya sedikit tersengal karena beban dipunggungnya, dan dia sedikit berlari. 

Sesampainya di rumah, Ratih berteriak. 

"Ibu... ibu..." 

Sang bunda keluar dari gubuknya dengan terkejut, karena tak biasanya putri kesayangan nya berteriak seperti itu. 

"Ada apa Nak?


Next ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima-kasih atas kunjungan sobat. Silahkan berikan komentar anda (saran, pertanyaan, ataupun kritikan) untuk kemajuan blog ini dengan bahasa yang sopan.