Minggu, 10 Oktober 2021

Ratih #3

 Cerbung

*Ratih*

A story by Nia Ahlam

Part 3


Puskesmas Mekarmukti terlihat sepi, yang ada di dalam hanya dua orang perawat dan dokter Galih yang sedang jaga. 

Sementara dokter Galih yang sangat tampan dan penuh simpatik sedang asik menghadap laptop kesayangan nya, membuka mbah google tentang perawatan bunga Anggrek, yang menjadi hobby nya. 

Sedangkan dua orang perawat tersebut, dua gadis belia bernama Nani dan Siti, sedang asik bergosip. 

"Siti, tadi aku pas mau berangkat kerja ngelihat si Ratih mau kepasar. Dia memikul kayu bakar seperti biasa." 

Nani terlihat senang banget saat memulai gosipnya. 

"Oh yaa? Kamu deket sama dia gak? Masih bau seperti dulu apa tidak tuh si gembel?" Siti terlihat penasaran. 

"Hahahaha.. ya iyalah, semriwing yang sangat aneh. Kok sampe sebesar itu si Ratih masih sama ya, seperti saat kecil sering ngedeketin kita saat bermain." 

Olok Nani sepertinya bahagia banget ngerumpiin Ratih si gadis aneh. 

"Yaa.. mungkin emang dia kena kutuk kali, tapi katanya ibunya mah biasa saja, cuman herannya mereka tidak mau bergaul dengan manusia seperti kita." Siti menimpali obrolan Nani. 

"Eh, mungkin bapaknya si Ratih Siluman penunggu hutan itu ya.. 

"Ehem..ehem..!" 

Dokter muda entah kenapa merasa gerah mendengar gosipan kedua rekan kerjanya, seakan tak rela si gadis aneh yang misterius menjadi bahan gosip dan candaan mereka. 

Sontak kedua perawat tersebut terdiam, tersipu dan salah tingkah. 

Juga saling mengedipkan mata. 

Sejujurnya mereka sangat mengidolakan pak dokter, namun pak dokter teramat sangat pendiam.

Walaupun dia sangatlah ramah terhadap siapapun. 

Sementara pikiran pak dokter terbayang kembali saat Ratih melarikan diri ketika mengetahui keberadaan dirinya dan pak Min, di hutan kemarin pagi. 

Tanpa sadar, dokter menggumamkan nama gadis itu, 

"Ratih.. oh Ratih.." 

"Pak dokter..!" 

Nani memanggil dokter, namun seolah tak mendengar dokter masih asik dengan lamunannya. 

"Pak.. Pak," 

Lebih keras Gadis itu memanggil dokter. 

Sambil senyum-senyum sendiri, Nani tahu kalau dokter pikirannya entah sedang dimana. 

"Eh.. iyaa.. ada apa Nani?" 

Dokter tersentak sedikit kaget dan tersipu malu. 

"Anu Pak, didepan ada pasien, katanya ibunya sakit perut di rumahnya, jadi tak bisa datang kemari." 

"Oh, siapa ya?" Dokter bertanya. 

"Bu Irah, yang rumahnya dekat mesjid Pak, tak begitu jauh dari sini kok." 

"Ya sudah, kalian jaga di sini ya. Saya berangkat kerumah beliau, kalau ada apa-apa telpon saya." 

"Baik Pak, anaknya bu Irah menunggu di depan." 

Nani memberitahu dokter, sambil tangannya menunjuk keluar. 

Dokter beranjak meraih tas kerjanya dan berangkat keluar, diiringi tatapan kedua perawat tersebut yang selalu terpesona oleh beliau, walaupun sudah hampir dua bulan selalu satu ruangan. 

Sungguh tak pernah merasa bosan melihat aura pak dokter yang sangat menawan. 

"Hai Dik, ayo berangkat kasian ibumu!" 

Ajak dokter kepada seorang anak lelaki yang sedang berdiri penuh kecemasan di halaman Puskesmas tersebut. 

Mereka bejalan bergegas.

πŸ€πŸ€πŸ€

"Orang gila... orang gila" 

Serombongan anak kecil terlihat sedang mengejar seorang perempuan berkerudung, sambil melemparinya dengan kerikil kecil. 

Sigadis terhuyung berlari sambil menangkis kerikil yang hampir mengenai tubuh nya. 

Kasihan sekali,  dan saat berlari kakinya tersandung, dokter yang melihat kejadian tersebut dan tak jauh darinya segera berlari menahan tubuh ramping yang hampir terjatuh. 

Tubuh gadis kecil tersebut terselamatkan karena pelukan tangan kekar pak dokter. 

"Ratih?" 

Dokter terkesima, karena tak salah gadis kecil yang dikejar anak-anak tersebut pastilah Ratih, gadis bercadar dengan pakaian lusuh dan bau rempah tersebut. 

Entah kenapa dokter tak segera melepaskan pelukannya, sementara si gadispun malah gugup sambil meronta berusaha melepaskan diri. 

Ratih menengadahkan muka menatap malu dan takut wajah sang dokter tampan tersebut, dan, saat bola mata mereka beradu, aliran darah ditubuh dokter terasa panas. 

Mata Ratih begitu bening, indah, laksana telaga ditengah hutan sana. 

Walaupun dokter tak bisa menatap wajah sang gadis. 

Dokter tersipu dan segera melepaskan pelukannya. 

Ratih menarik tubuhnya dan hanya mengangguk sebagai ucapan terima kasih yang tak bisa terucap dari balik cadarnya. 

Sementara anak-anak nakal sudah berlari balik arah karena takut kena omel pak dokter. 

Dokter Galih, menatap belakang tubuh si gadis yang berjalan semakin menjauh dari pandangan matanya. 

Dia tersenyum, dan menoleh anaknya bu Irah mengajak melanjutkan perjalanan menuju rumah pasien. 

"Pak dokter, baju bapak kotor." 

Dengan polosnya anak lelaki tersebut menunjuk bagian dada baju dokter yang kuning kena ramuan dari tangan Ratih, dokter malah tersenyum, entah kenapa, ada satu rasa bahagia dengan pertemuan tadi. 

Gadis misterius. Yang telah sedikit mencuri perhatian nya. 

πŸ€πŸ€πŸ€

"Ibuuuu!" 

Sesampainya di rumah, Ratih berteriak memanggil ibunya tersayang, sang ibupun keluar dari gubuk tersebut, diiringi si hitam yang langsung melendoti kaki Ratih, sepertinya merasa kangen ditinggal seharian oleh tuan putrinya. 

"Kamu pulang Nak, apa kabar nek Minah?" 

Si ibu menanyakan kabar nenek penampung kayu bakar yang mereka jual.

"Nenek baik Bu, dia titip salam buat ibu, katanya kangen, kapan ibu mau kepasar?" 

Ratih tak berani menceritakan kejadian tadi, dia tak mau ibundanya merasa khawatir, Ratihpun menyerahkan uang hasil penjualan kayu kepada ibunya. 

Yang sebagian sudah dia belanjakan bahan makanan pokok buat mereka. 

"Ayo kita makan Nak, ibu memasak pepes ikan asin kesukaanmu hari ini." 

Sambil merangkul putri kesayangan nya mengajak nya makan di dalam rumah. 

"Iya Bu. Makasih," 

Ratih mengecup lembut pipi sang ibu. 

Dalam kehidupannya yang serba misteri, satu hal yang Ratih rasakan sebagai anugerah dari sang pencipta adalah mempunyai seorang ibu yang sangat penuh kasih, sehingga dia tak pernah merasakan kesepian dalam kehidupan asing mereka. 

"Bu, selesai makan Ratih mau main ke tepi sungai ya bu, sekalian kasih makan ikan, sudah lama Ratih tak kesana." 

Kemanapun Ratih mau pergi, dia pasti akan meminta ijin ibunya. 

"Iya sayang, hati-hati ya. Dan jangan kesorean nanti kamu pas mau mandi nya kemalemam sudah dingin, ibu enggak mau kamu sakit nak"

"Iya Bu." 

Menikmati indahnya aliran air sungaipun adalah salah satu kebahagiaan buat Ratih, menyatu dengan alam. 

Sangat damai dirasakannya, tapi kali ini ada yang lain, Ratih tak bisa fokus dengan alam sekitarnya, pikirannya melayang ke kejadian tadi sepulang dari pasar, wajah pemuda tersebut tak mau hilang dari ingatannya. 

Dada Ratih berdetak kencang, Ratih kebingungan, apa yang terjadi dengan dirinya. 

Biasanya dia sangat takut bertemu seorang laki-laki, tapi kali ini dia tak bisa melupakan rasa nyaman saat berada dalam pelukan pemuda tersebut. 

Andai tak bercadar, mungkin pipi Ratih sudah memerah merona, karena wajahnya terasa panas dan tersipu. 

πŸ€πŸ€πŸ€

Diwaktu yang sama dilain tempat, pak dokterpun sedang merasakan hal yang sama. 

Sambil tersenyum menatap noda kuning diseragam putihnya, dadanya berdesir membayangkan mata indah Ratih. 

"Ah, ada apa dengan diriku? Apa yang membuat aku teringat terus dengan gadis misterius tersebut. Bola mata itu begitu indah. Siapa dia sebenarnya? Kenapa badanya seperti itu? Sakitkah dia?" 

Dokter Galih tak habis pikir memikirkan semua yang terjadi.

"Kenapa juga mereka mengasingkan diri, dijaman modern seperti ini, mereka bisa hidup dalam kesederhanaan mereka. Sakit apakah gadis itu?" 

Lamunan dokter terhenti karena terdengar suara adzan maghrib berkumandang. 

"Astaghfirullah, berapa lama aku melamun, sampai adzan maghrib tiba." 

Dokter bergegas menuju kamar mandi mengambil air wudhu dan bersiap pergi ke mesjid.

Sementara baju dinasnya tergantung rapih, entah kenapa dia tak mau menyimpannya ditempat cucian, mungkin dia mau meneliti ramuan obat apa yang Ratih pakai. Hahaha …


Next ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima-kasih atas kunjungan sobat. Silahkan berikan komentar anda (saran, pertanyaan, ataupun kritikan) untuk kemajuan blog ini dengan bahasa yang sopan.